Jumat, 31 Juli 2009

Antara Trauma dan Wibawa Hakim

Kamis, 2008 November 20

Selagi sejumlah hakim masih trauma dengan insiden pembunuhan di dalam ruang sidang, aksi massa FPI kembali menambah lembaran hitam PN Jakarta Pusat. Beruntung, aksi pendukung Habib Rizieq itu berakhir aman.

Kamis (30/10) itu, suasana di depan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dipenuhi massa dari Front Pembela Islam (FPI). Mereka sengaja datang, karena hari itu merupakan agenda sidang pembacaan putusan (vonis) kasus kerusuhan di Monas. 

Saat itu, suasana sudah terlihat tegang. Sekalipun massa FPI bersiap diri untuk menunggu komando selanjutnya, namun aparat kepolisian tak mau ketinggalan. Dengan mengerahkan ratusan anggota, polisi tampak meningkatkan penjagaan dengan kekuatan penuh. 

Benar saja, ketika Majelis Hakim yang diketuai Panusunan Harahap dengan Hakim Anggota Makmun Masduki dan Sugeng Riyono menjatuhkan hukuman selama 1 tahun 6 bulan penjara terhadap Ketua FPI Habib Rizieq, massa di dalam dan luar gedung sontak bereaksi. "Allah Akbar, hakim brengsek!," teriak seorang pendukung. "Hakim nggak bener!" kata pendukung lainnya.

Teriakan-teriakan bernada marah dan kecewa memenuhi ruang sidang. Keluarga habib dan pendukung perempuannya terihat menangis dengan suara yang cukup kencang. Massa yang berjumlah 30 orang merangsuk ke tempat duduk terdakwa. Namun petugas polisi yang menjaga persidangan langsung menghalangi niat mereka. Sementara itiu, Habib Rizieq menilai vonis hakim itu tidak adil. "Vonis ini kabur, ngawur dan zalim!" cetusnya.

Rizieq mengaku akan melakukan upaya banding. "Demi Allah apapun risiko hukumannya dibunuh sekalipun, saya tetap akan berjuang untuk membubarkan Ahmadiyah," kata Rizieq.

Dalam kesempatan itu Rizieq sempat berujar kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Dengan setulus hati yang dalam, saya ingin sampaikan kepada SBY takutlah kepada Allah. Jangan lindungi Ahmadiyah. Saya sampaikan ini sebagai saudara muslim. Tidak apa-apa saya dipenjara bahkan dihukum mati!" tegas Rizieq

Sementara itu, suasana tegang terjadi di luar gedung. Sembari merapatkan barisan, seolah ingin merangsek ke dalam pengadilan, massa saling dorong dengan polisi. Situasi nyaris caos saat mobil tahanan yang membawa Habib Rizieq keluar dari pengadilan. Ketika itu, massa FPI berusaha mendekati mobil, namun ratusan polisi yang membentuk barikade langsung menghalaunya.

Barikade yang kuat membuat massa FPI tidak bisa mendekat. Awalnya massa hanya melempari polisi dengan botol air. Karena polisi melakukan perlawanan, massa membalas dengan bambu yang biasa digunakan menjadi bendera. Tak lama kemudian, suasana menjadi cair. Polisi membiarkan pendukung Habib Rizieq Shihab untuk tetap berorasi di depan pengadilan. 

Sukses polisi kali itu, boleh jadi setelah belejar dari sebelumnya, yakni terjadinya kericuhan di dalam ruang sidang maupun bentrokan antara kelompok FPI. Selain menambah personil, polisi juga telah membatasi pengunjung sidang demi alasan keamanan.

Memang, atas keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Habib Riziq mengajukan banding kepada Mahkamah Agung. Dia menilai, keputusan itu sangat tidak adil. “Tadi sudah banding. Kita tinggal administrasinya saja. Itu spontan saja. Itu spontan dari Habib sendiri,” katanya.

Hal senada disampaikan kuasa hukum Ari Yusuf, yang menegaskan akan ajukan banding terhadap keputusan ini. “Kalau kita ikuti tuntutan yang diajukan inkonsistensi. Habib didakwa menganjurkan, melakukan. Ini menganjurkan apa? Dan, melakukan apa?” kata Ari.

Wibawa hakim

Menurut Pakar Hukum Pidana Indrianto Seno Adji, meski tidak ada sanksi, dalam KUHAP ada disebut semua pihak dalam rangka proses peradilan harus menghormati peradilan yang sedang berjalan sehingga pembatasan pengunjung sidang perlu jadi perhatian. 

Selain pembatasan pengunjung, Indrianto menilai penjagaan ekstra ketat juga perlu dilakukan demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. "Langkah prevensi polisi juga perlu jadi perhatian," katanya.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR T Gayus Lumbuun mengatakan, walaupun ada soal pengamanan di pengadilan, kasus kekerasan di ruang sidang ini menunjukkan rendahnya kewibawaan pengadilan. Kepercayaan pada pengadilan pun rendah. ”Jika kasus perdata, orang lebih cenderung menyelesaikannya di luar pengadilan,” kata Gayus.

Ia menambahkan, rendahnya kepercayaan pada pengadilan terjadi karena rendahnya kepercayaan kepada pimpinan lembaga peradilan, terutama Mahkamah Agung (MA). Pimpinan MA tak lagi mencerminkan kewibawaan lembaga peradilan itu. (8) simon leo siahaan

---------------------------------------------------

Menuju Kursi KPN
Keberadaan Andriani Nurdin duduk di kursi Kepala PN Jakarta Pusat lumayan sulit. Diketuai Wakil Ketua MA Marianna Sutadi, tim seleksi ini melakukan 'jemput bola' untuk mendapatkan hakim-hakim pilihan, yang kemudian didapat 18 hakim. Mereka yang 'dijemput' adalah hakim pada PN kelas IA di seluruh Indonesia dengan pangkat terakhir IV-C. Khusus untuk kandidat Ketua PN Jakpus dan PN Jaksel, mereka harus pernah menjabat Ketua PN Kelas 1A di tempat lain. 

Setelah dicocokkan dengan data di Badan Pengawasan, tersisa sembilan orang. Dari sinilah proses dimulai. Pertama, mereka melalui wawancara yang berlangsung tertutup. Untuk keperluan itu, para hakim terpilih harus meyodorkan empat putusan yang dihasilkannya. Empat putusan itu terdiri dari dua putusan perkara pidana dan dua putusan perkara perdata. Selanjutnya, pertimbangan hukum dalam putusan-putusan itu dieksaminasi oleh Tim Seleksi.

Selain menguji putusan, Tim Seleksi juga mencerca para kandidat dengan pertanyaan-pertanyaan seputar manajerial perkara. Menurut Hatta, hal itu dilakukan karena Ketua PN di Jakarta harus memiliki kemampuan teknis dan manajerial di atas rata-rata.
Pergantian pimpinan PN di wilayah DKI Jakarta lewat fit and proper test menjadi proyek percobaan (project pilot). Untuk daerah lain menyusul tapi prioritasnya adalah daerah tertentu yang perkaranya kompleks.

Meski dilaksanakan secara tertutup, fit and proper test ini dinilai sebagai perkembangan yang positif. “Ini berguna untuk menepis adanya promosi berdasarkan pesanan,” kata Arsil, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Menurut Arsil, jika project pilot ini berhasil, tidak tertutup kemungkinan fit and proper test ini kelak diterapkan juga untuk menjaring Ketua Pengadilan Agama, Tata Usaha Negara, atau Militer. “Tapi itu tergantung masing-masing Dirjen-nya,” cetusnya. (8) simon leo siahaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar