Selasa, 28 Juli 2009

KY Tegur Seorang Hakim Agung

Seorang hakim agung mendapat surat teguran dari Komisi Yudisial. Namun, dia yang merupakan salah satu pejabat di MA, menampik semua tudingan pelapor. 

Tak takut menghadapi masalah. Setelah mempelajari surat dari Komisi Yudisial (KY), Hakim Agung Djoko Sarwoko, Kamis (19/3) lalu, lantas mendatangi kantor pengirim surat itu. Saat itu, niatnya hanya satu, ingin menjelaskan dan mengklarifikasikan isi surat kepada para komisioner. 
Sayang, kedatangan Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Bidang Pengawasan ke KY luput dari perhatian publik. Namun, Komisioner Mustafa Abdullah membenarkan kedatangan kandidat Ketua MA itu. 
Hakim Agung Djoko pantas bereaksi. Betapa tidak, dia dilaporkan ke KY oleh kuasa hukum Sugar Group Companies (SGC), Hotman Paris Hutapea, karena diduga melanggar kode etik dan sumpah jabatan hakim. 
Sementara itu, dalam surat klarifikasinya ke KY, Djoko menampik semua tudingan dari SGC. “Saya hanya melaksanakan tugas pengawasan dari ketua MA,” jawabnya.
Djoko menanmbahkan, pengawasan dilakukan setelah mendapat disposisi dari ketua MA yang ditujukan ke bidang pengawasan. Setelah itu dibentuk tim pengawasan. “Itu bukan intervensi, cuma upaya pembinaan yang dijamin oleh Undang-Undang,” kata Djoko. 
Ia menambahkan kalau pengawasan dinilai sebagai intervensi, berarti pemanggilan KY terhadap dirinya juga merupakan intervensi. Sekedar informasi, SGC merupakan induk dari empat pabrik gula, yakni PT Sweet Indolampung, PT Gula Putih Mataram, PT Indolampung Perkasa dan PT Indolampung Distillery.

Ada intervensi

Sebelumnya, kuasa hukum SGC dan PT Garuda Pancaarta mengadukan dugaan intervensi hakim agung Djoko Sarwoko atas perkara No. 303/Pdt/2007/PT.DKI. Surat laporan itu dikirimkan ke KY pada 30 Januari 2008 lalu dan ditandatangani oleh Albert Nadeak. 

Djoko dilaporkan lantaran memenangkan Marubeni atas permohonan kasasi terhadap putusan sela terkait kewenangan mengadili (kompetensi relatif). Dalam putusan MA No.437K/PDT/2008 tanggal 2 Juli 2008, Djoko selaku ketua majelis memutuskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk menggelar dan memutus perkara Marubeni melawan Sweet Indolampung.
Perkara itu adalah gugatan Marubeni yang diajukan pada 2007 lalu. Perkaranya tengah berlangsung di pengadilan yang dipimpin Andriani Nurdin tersebut. Hingga kini persidangan masih tersendat karena kuasa hukum Sweet Indolampung Hotman Paris Hutapea, keberatan terkait surat kuasa Marubeni ke kantor hukum OC Kaligis & Associates. Persidangannya sendiri akan dilanjutkan Rabu (25/3) pekan depan.
Albert menyatakan dalam pertimbangan hukumnya, Djoko memenangkan kasasi Marubeni karena perusahaan asal Jepang itu mengajukan eksepsi relatif di Pengadilan Negeri Gunung Sugih dan Pengadilan Negeri Kota Bumi. 
Padahal dalam surat jawaban dan gugatan rekonpensi, Marubeni tidak menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadili perkara SGC versus Marubeni.
Lantaran pertimbangan itu, Albert menilai Djoko tidak menjalankan tugas sesuai dengan sumpah seorang hakim agung. Djoko juga dituding melanggar kode etik hakim karena memenangkan salah satu pihak. 
Selain itu, Djoko juga dituding mengintervensi majelis hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih dan Pengadilan Negeri Kota Bumi yang menyidangkan perkara SGC versus Marubeni. 
Menurut Albert, selama persidangan berlangsung Djoko beberapa kali mengirimkan tim pemeriksa untuk memeriksa majelis hakim dalam perkara No 12/PDT.G/2006/PN.GS dan 04/PDT.G/2006 PN.KB. 
Terakhir, tim pemeriksa yang dikirim adalah Hilman. Belakangan, tidak ada tindak lanjut dari hasil pemeriksaan dari Djoko yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pengawasan. Menurut Albert, kedatangan tim pemeriksa itu hanya untuk menunjukan bahwa Marubeni dan keluarga Salim memiliki kedekatan dengan salah satu pimpinan MA. 

Adu gugatan

Perkara ini bermula ketika Sweet Indolampung berhasil mematahkan gugatan Marubeni. Lewat putusan sela pada 16 Mei 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan Marubeni. Sebab, ketika itu perkara yang sama sedang diadili di Pengadilan Negeri Kota Bumi dan Pengadilan Negeri Gunung Sugih.

Perkara di kedua pengadilan yang berada di Provinsi Lampung itu berupa gugatan pembatalan terhadap perjanjian utang yang dilakukan oleh Marubeni kepada Sugar Group Companies (SGC). Sweet Indolampung sendiri adalah salah satu anak perusahaan SGC.
Marubeni kemudian mengajukan banding atas putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut. Hasilnya, pada 5 September 2007, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding tersebut. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diperintahkan untuk membuka dan memeriksa serta memutus atas pokok perkara. Sweet Indolampung lantas mengajukan kasasi.
Sweet Indolampung kembali menelan pil pahit. MA menolak kasasi mereka. MA sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Alasannya dasar gugatan yang diajukan di Pengadilan Negeri Kota Bumi dan Pengadilan Negeri Gunung Sugih berbeda dengan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dasar gugatan yang diajukan di Pengadilan Negeri Kota Bumi dan Pengadilan Negeri Gunung Sugih adalah perjanjian pinjam meminjam (Loan Agreement) tanggal 27 Oktober 1999. 
Sementara, dasar gugatan Marubeni adalah Supply Contract/A-Contract tanggal 11 Juni 1993 dan Construction Contract for Undertaking Guarantee (CUG) tanggal 17 Juli 1993, plus amandemen kontrak tersebut tanggal 14 Juli 1997, 5 Juni 1998 dan 27 Oktober 1999.
Lantaran objek gugatan dalam sengketa ini terletak pada perjanjian pokok dan ikutan, majelis hakim berpendapat yurisdiksi penyelesaian sengketa tidak mengacu pada perjanjian ikutan, tapi di Pengadilan Negeri dimana tergugat berdomisili. 
Sesuai dengan kedudukan Sweet Indolampung di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta Pusat, maka majelis menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa mengadili gugatan Marubeni. 

Gugatan diajukan lantaran Sweet Indolampung wanprestasi karena tidak membayar utang tunggakan utang sebesar 3,52 miliar yen dan AS$7,92 juta kepada Marubeni. Dana itu sebelumnya digunakan Sweet Indolampung untuk mendirikan pabrik gula dan penyediaan mesin-mesin pendukungnya.
Untuk pendirian pabrik gula itu, Marubeni dan Sweet Indolampung membuat Supply Contract/A-Contract tanggal 11 Juni 1993. Kontrak itu menentukan Sweet Indolampung wajib membayar AS$50 juta atas mesin dan peralatan yang disediakan Marubeni. 
Selain itu, dibuat Construction Contract tanggal 1 Juli 1993 yang mewajibkan Sweet Indolampung membayar AS$27,5 juta atas pembangunan pabrik gula yang dilakukan oleh Marubeni.
Melalui Marubeni, Sweet Indolampung mengajukan pinjaman uang ke Marubeni Europe P.L.C. untuk melakukan pembayaran ke Marubeni. Pinjaman tersebut dituangkan dalam dua Loan Agreement, yakni Akta No. 136 sebesar AS$50 juta dan Akta No. 138 sebesar AS$27,5 juta. 
Sweet Indolampung melaporkan pinjaman itu ke Bank Indonesia melalui Laporan Pinjaman Komersial Luar Negeri. Perjanjian itu berlaku mulai ditandatangani hingga Agustus 2006.
Marubeni sendiri berperan sebagai penjamin (corporate guarantee) dalam Loan Agreement itu. Selaku penjamin, Marubeni memberikan dua surat jaminan (letter of guarantee) ke Marubeni Europe P.L.C tanggal 17 Juli 1993. 
Meski demikian, Marubeni meminta Sweet Indolampung agar memberikan jaminan membayar utang ke Marubeni Europe P.L.C. Karena itu dibuatkan dua perjanjian penjaminan (contract of undertaking guarantee) pada tanggal yang sama.
Marubeni lalu mengasuransikan perjanjian tersebut ke Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Jepang terhadap resiko politik. Marubeni kemudian membayarkan premi asuransi dalam bentuk tambahan bunga berdasarkan dua Loan Agreement.
Setelah perjanjian selesai, Marubeni menyelesaikan pembangunan pabrik gula milik Sweet Indolampung. Namun dalam perjalanannya, pembayaran pinjaman Sweet Indolampung macet pada cicilan kelima yang jatuh tempo pada 30 April 1998. 
Lantaran kredit macet, Marubeni Europe P.L.C memberi penyelesaian jalan keluar melalui Perjanjian Pembiayaan Kembali Pertama (First Refinancing Agreement). Perjanjian yang ditandatangani 5 Juni 1998 itu merupakan pembiayaan kembali untuk pembayaran bunga dan cicilan utang pokok Sweet Indolampung.
Meski demikian, Sweet Indolampung tetap menunggak angsuran utang keenam dan ketujuh. Marubeni Europe P.L.C kembali menawarkan Perjanjian Pembiayaan Kembali Kedua pada 27 Oktober 1999 untuk pembayaran angsuran keenam dan ketujuh berdasarkan dua Loan Agreement dan First Refinancing Agreement. 
Pada saat yang sama, Marubeni juga membuat Surat Jaminan terhadap Perjanjian Pembiayaan Kembali Kedua. Dengan catatan, Sweet Indolampung juga mengamandemen dua perjanjian penjaminan.
Dengan Perjanjian Pembiayaan Kembali Kedua, Sweet Indolampung berhasil membayar angsuran utang kedelapan dan kesembilan. Namun setelah itu, Sweet Indolampung gagal membayar angsuran kesepuluh hingga keenambelas yang diwajibkan dalam dua Loan Agreement. 
Marubeni berkali-kali mengajukan somasi ke Sweet Indolampung untuk membayar tunggakan utang. Namun hasilnya nihil. Karena itulah Marubeni mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam gugatan disebutkan perubahan kepemilikan Sweet Indolampung tidak mengakibatkan hapusnya utang tersebut. Sejak November 2001, Sweet Indolampung yang tadinya milik PT Holdiko Perkasa berubah menjadi milik PT Garuda Panca Artha berdasarkan lelang Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Berdasarkan Loan Agreement, Sweet Indolampung wajib membayar angsuran kredit, komisi dan bunga akibat keterlambatan pembayaran. Total kerugian yang harus dibayar 3,52 miliar yen dan AS$7,92 juta. 
Sedangkan pembayaran kerugian immateriil dituntut sebesar As175 juta. Marubeni juga meminta majelis hakim agar menyatakan Sweet Indolampung terhadap perjanjian penjaminan dan amandemennya. (8) simon leo siahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar