Rabu, 29 Juli 2009

Menyoal Polisi dekat Bandar Judi

Sikap polisi yang akan menindak tegas terhadap pelaku kegiatan judi mendapat sorotan di akhir tahun 2008. Pasalnya, sikap polisi itu terkesan tebang pilih karena ternyata sejumlah bandar masih bebas beroperasi. 

Harapan publik terhadap Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri yang akan melanjutkan kebijakan mantan kapolri sebelumnya, terutama dalam mengganyang dan melarang kegiatan judi berkembang di tengah masyarakat, menuai pertanyaan. Terkesan, mantan Kepala Bareskrim Mabes Polri itu membuka peluang kepada mereka yang hendak berdamai dalam mengusahakan kegiatan adu peruntungan. 
Malah, jenderal lulusan Akademi Kepolisian tahun 1974 itu terlihat kurang peka ketika terungkap sejumlah lokasi pertaruhan yang telah beroperasi sekian lama tanpa tersentuh aparat keamanan. Ironinya, salah satu tempat mengadu peruntungan uang panas itu berada di depan markas Polda Metro Jaya, tepatnya sebuah kamar mewah bernomor 296 di Hotel Sultan dengan tarif Rp4 juta semalam.
Demikian pula sikap setengah hati polisi seusai membekuk bandar judi Candra Wijaya alias Acin, 47 tahun, akhir Oktober lalu. Padahal, dialah satu-satunya bandar yang bebas sorotan ketika Jenderal Sutanto menjadi Kapolri. Bahkan, hingga Kepala Kepolisian Daerah Riau berganti tiga kali, Acin tetap aman sentosa mengelola judi yang beromset Rp3 miliar per hari. Acin diduga merupakan bandar judi terbesar di Sumatera, bahkan bisa juga internasional karena polisi juga menemukan togel jenis Singapura, Malaysia dan Kamboja. 
Keberanian Kapolda Riau Brigjen Pol Hadiatmoko menggulung Acin beserta 26 anak buahnya, dokumen nomor togel hingga mencapai empat karung, uang tunai Rp185 juta dan 250 Ringgit Malaysia, komputer dan mesin fax, langsung mendapat reaksi positif dari Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Irjen Pol Alantin Simanjuntak. “Judi skala besar itu telah terjadi sejak 2001, namun baru ditindak akhir Oktober 2008 oleh Kapolda Riau Brigjen Pol Hadiatmoko, ada apa ini?” katanya.
Alantin pun mengungkapkan terdapat enam jenderal Polri terindikasi pembiaran judi di Riau. Selain itu, sebanyak 60 perwira menengah, 46 perwira pertama dan tujuh bintara disinyalir terkait dengan kasus yang sama. 
Aksi Polda Riau pun berlanjut dengan menyita aset berupa rumah karaoke dan spa milik Acin bernama Executive Club di JL Cempaka, Pekanbaru. Penyitaan ini merupakan bagian dari penyidikan atas tersangka Acin dalam kasus money laundry (pencucian uang) berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003.
Sebelumnya, polisi juga menyita aset berupa surat kepemilikan perumahan Indah Puri Garden, akta kepemilikan perkebunan kelapa sawit, rumah toko penangkaran sarang walet, serta sebuah rumah megah milik Acin Jl Kuantan Pekanbaru. Polisi juga memblokir rekening bank Acin, yang diketahui baru menerima transfer uang sekitar Rp1 miliar. 
Namun, anggota Komisi III DPR Azlaini Agus mencium ada aroma balas dendam dari pihak eksternal polri dengan menggunakan persaingan di tubuh polri itu sendiri.
Dia juga mempertanyakan, mengapa hal ini baru terbongkar sekarang dan hanya menyeret orang-orang tertentu saja. Padahal judi di Riau itu sendiri sudah ada sejak tahun 2001. Kenapa tidak semua kapolda sejak merebaknya judi di Riau tidak semuanya disebut-sebut. Tudingan pada hanya satu atau dua orang petinggi polisi ini sudah sistematis dan sangat terarah.
"Mantan Kapolda Riau Sutjiptadi itu kan bukan satu-satunya kapolda yang di daerahnya ada judi, tapi kenapa dia saja yang dibongkar kasusnya. Tidak usah jauh-jauh sampai ke Riau, orang di Jakarta saja masih banyak tempat perjudian maupun bandar judi yang masih bermain," paparnya.
Dia juga menyesalkan langkah Kapolri yang terkesan menutupi dengan mengatakan bahwa tidak ada yang "membekingi" yang ada hanyalah pembiaran adalah langkah mundur. "Kapolri tidak bisa lagi mundur dan harus meneruskan temuan itu untuk membersihkan tubuh polri dari unsur-unsur jahat," tegas Azlaini Agus. 

Sultan 303
Lain lagi kisa judi di Hotel Sultan. Saat aparat dari Direktorat Keamanan Transnasional Bareskrim Mabes Polri menggerebek kamar itu, 24 Oktober 2008, terlihat suasanannya sangat spesial. Ukuran kamarnya pun lumayan luas, seperti apartemen atau rumah bertipe 36, yang dilengkapi dua kamar tidur berukuran 3x4 meter, ruang makan, ruang tamu dan kamar pantry yang cukup luas.
Terkesan aman dan nyaman, sehingga wajar peminat yang hendak berjudi di kamar itu terus bertambah. Itu sebab, kamar judi yang semula buka pukul 17.00 WIB hingga 12.00 WIB menambah jam kerja menjadi hingga pukul 04.00 WIB. Diperkirakan, setiap hari sekitar 20 sampai 30 orang yang bermain judi di situ.
Memang, untuk menjadi pemain di Sultan 303 itu tidak sembarang orang boleh ikut. Selain harus mendapatkan rekomendasi dari pemain yang lebih dulu dikenal sebagai anggota (member), juga harus menyetor Rp2 juta per bulan sebagai kepesertaan. Bagi mereka yang hoki sebagai pemenang juga wajib setor Rp3-5 juta kepada penyelenggara.
Peserta yang hendak masuk ke kamar judi itu juga didoktrin mengaku sebagai peserta arisan jika ada yang bertanya, termasuk pihak hotel sekalipun. Bermain judi di kamar itu memang asyik, apalagi pemain bisa membeli makanan dan minuman yang disediakan penyelenggara sehingga tidak perlu repot-repot memanggil layanan hotel.
Namun, kekhususan kamar judi itu berujung setelah polisi mendapatkan laporan dari masyarakat sepekan sebelumnya. Melalui pengintaian dan penyamaran, polisi menyimpulkan terjadi aktivitas yang mencurigakan di dalam kamar itu. 
Seperti standar operasi penggerebekan umumnya, polisi kemudian mengepung kamar tersebut. Setelah seorang petugas mengetuk pintu lalu terbuka, seketika itu pula sejumlah polisi berjejal di mulut kamar langsung merangsek masuk. Tak ada yang berkutik apalagi melakukan aksi perlawanan.
Setelah isi kamar dikuasai, polisi mencokok 15 orang. Mereka adalah YN, penyelenggara permainan judi, dan ER sebagai pencatat hasil permainan. Sedangkan 13 orang lainnya, adalah pemain judi, yang sebagian besar bos di sejumlah perusahaan. Dia adxalah BT (presiden komisaris perusahaan swasta), AN (wiraswasta), AT (Wiraswasta), AB (karyawan), LD (swasta), VD (swasta), JK (swasta), GP (swasta), RL (swasta), SK (karyawan), PP (swasta), WS (swasta) dan JHT (karyawan).
Polisi juga mengamankan barang bukti uang tunai Rp91,7 juta, 400 dolar Amerika Serikat, seperangkat kartu dan papan pencatat judi. Polisi, empat hari kemudian juga menangkap RM, salah satu gembong judi di Hotel Sultan
Hanya saja, setelah sebulan lebih dalam penanganan penyidik polisi, kasus judi di kamar Hotel Sultan itu belum juga bergulir ke pengadilan. Inilah yang kemudian mengundang kecurigaan, apalagi ada permintaan dari kejaksaan untuk mengubah berkas. Kabar diperoleh, polisi sudah melimpahkan berkas ke kejaksaan dan sedang dalam P 19 (petunjuk dari penuntut umum ke penyidik), satu berkas lagi belum diserahkan ke kejaksaan. "Bisa saja diubah pasalnya, jika pihak kejaksaan merasa tidak tepat dengan pasal yang didakwaan. Dan itu tidak menjadi persoalan," kata Jampidum Abdul Hakim Ritonga. (8) sofyan hadi, simon leo siahaan

------------------------------------------

Aya Naon Kang Noeg?

PSSI dilanda persolan hukum
dalam perkara penipuan uang. Kali ini Hotel Kaisar melaporkan para pengurus sepak bola itu ke polisi karena menerbitkan cek dan giro bilyet kosong untuk sewa kamar hotel. 

Baru saja sang ketua umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Nurdin Halid menghirup udara bebas di luar penjara, pamor PSSI kembali tercoreng dengan adanya kasus cek dan giro bilyat kosong untuk pembayaran biaya sewa 75 unit kamar Hotel Kaisar dan akomodasi lainnya yang mencapai Rp 1,2 miliar. 
Disebut-sebut Polda Metro Jaya dalam waktu dekat akan menetapkan status tersangka dari sejumkah saksi yang telah diperiksa. Disinyalir, pengurus PSSI yang akan berstatus tersangka berinisial IM dan HC. Keduanya adalah anak buah Sekjen PSSI Nugraha Basoes. 
"Kami sudah memeriksa Indra Maulana, Sekjen PSSI Nugraha Besoes dan Deputy IV Sekjen PSSI Herman Chaniago. Untuk sementara status mereka sebagai saksi dan tidak tertutup kemungkinan mereka menjadi tersangka dalam kasus tersebut,” kata Kasat Reskrim Kompol Iwan Kurniawan. 
Sedangkan untuk pemeriksaan lebih lanjut, masih kata Iwan, penyidik masih harus memeriksa satu saksi lagi dan untuk sementara kami belum bisa memastikannya karena perkaranya harus digelar kembali. Selain itu, diantara mereka kerap saling lempar tanggung jawab dan berkelit saat diperiksa.
Menurut Iwan, keterlibatan Sekjen PSSI dalam kasus cek kosong ini adalah sebagai penghubung dengan sejumlah calon sponsor. "Nugraha menyambungkan ke pihak-pihak lain. Selanjutnya, kontrak dan segala macam dikerjakan oleh Indra," katanya. 
Ketika disinggung cek tersebut kosong karena dana Pertamina dialihkan ke rekening lain milik para petinggi PSSI, Iwan mengatakan belum mengarah sejauh itu. “Penyidik berfokus kepada kewajiban yang seharusnya diterima Hotel Kaisar. Yang akan saya lakukan adalah mengecek apakah hotel tersebut sudah dibayar belum. Jika sudah, dibayar pakai apa? Kalau pakai cek, kenapa bisa kosong dan siapa yang membuatnya? Soal bagi-bagi uang atau rejeki itu urusan PSSI,'' kata Iwan. 
Diakui Nugraha Besoes, PSSI memang belum membayar sepenuhnya. “Tapi, asal tahu kami tidak pernah membayar dengan cek dan kami tidak punyak cek Bank Mega,” elak Nugraha Besoes.
 Menurut Nugraha, sebenarnya kasus ini bukan salah PSSI, tapi pihak sponsor pertandinganlah yang paling bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Tapi saya tidak bisa menyebutkan nama sponsornya karena tidak etis untuk menyebutkannya.  
 Nugraha mengatakan, “Kalau soal terlambat bayar itu kan biasa. Tapi, ketika itu cek sudah diserahkan oleh pihak sponsor kepada hotel. Tapi, ketika cek dikasih, uang belum ada yang masuk ke rekening. Sponsor kita kan jarang yang bawa uang cash."
  Sementara Deputi IV Sekjen PSSI, Herman Chaniago mengatakan Nugraha Besoes, merupakan pihak yang paling bertanggung jawa dan mengetahui seluk-beluk pengeluaran cek kosong. “Termasuk posisi Indra yang bukan anggota PSSI, tetapi bisa menjadi ketua panpel,” kata Herman.
Wakil Bendahara PSSI Achanul Qosasih mengatakan keikutsertaan Indra karena ada kesepakatan Indra diperbolehkan mencari sponsor tambahan di luar Pertamina untuk membantu kekurangan dana. "Soal guarantee letter yang dikeluarkan Sekjen PSSI, saya sangat menyayangkan itu karena tidak pernah diberi tahu sama sekali. Harusnya saya ikut menandatanganinya. Tahu-tahu, Sekjen PSSI main tandatangan sendiri," cetus Achsanul.

Bermula dari hotel

Teseretnya gerbong Sekjen PSSI Nugraha Besoes dalam kasus hukum bermula dari laporan manajemen Hotel Kaisar ke polisi. Dalam laporan itu, manajemen Hotel Kaisar menyebutkan bahwa PSSI telah melakukan penipuan dan penggelapan senilai Rp1,2 miliar untuk membayar sewa 75 unit kamar dan akomodasi seperti laundry, sewa mobil dan bus dengan cek dan giro bilyat kosong. 
Kuasa hukum Deolipa Yumara, SH, S.Psi yang mewakili pihak Hotel Kaisar selaku penyedia kamar, Riana Flora pemilik Binatu Flora selaku penyedia jasa laundry dan Dwi Wahyu Sentosa pemilik PT Dasa Sentosa penyedia rental mobil, menjelaskan bahwa para korban mengadu ke polisi karena mereka telah menjadi korban penipuan dan penggelapan (Pasal 372 dan Pasal 378 KUHP).
 Dalam kasus ini ada dua laporan, yakni laporan dari manajemen Hotel Kaisar ke Polres Jakarta Selatan atas kasus cek kosong senilai Rp 200 juta serta giro bilyet kosong masing masing Rp 250 juta, Rp 250 juta dan Rp 500 juta. Cek dari Bank Mega dan giro bilyet dari Bank Century itu menggunakan alamat kantor PSSI, Gedung Gelora, Senayan Pintu X dan Pintu XI Jakarta. 
Sedangkan laporan yang kedua yakni dari pihak laundry dari Londry Flora karena ditipu Rp 50 juta dan rental mobil dan bus dari PT Dasa Sentosa karena ditipu Rp 80 juta. Mereka dijanjikan akan dibayar, tetapi sampai saat ini belum ada pembayaran, pihak loundry sendiri memang sudah dibayar, namun hanya Rp. 10 juta. 
  Menurut Deolipa, kasus ini berawal dari adanya surat pengajuan penyewaan kamar yang diajukan PSSI ke pihak Hotel Kaisar. Surat pengajuan itu ditanda-tangani oleh Sekjen PSSI yakni Nugroho Besoes dan dikirim via fax ke Hotel Kaisar. Dari surat itu, kemudian terjadi kesepakatan antara kedua pihak dengan ditandatanganinya surat perjanjian antara General Manager Hotel Kaisar yakni M Erwan Yofrizal dan Front Office Manager yakni Toto Indra Kusuma, dengan pihak PSSI, Herry S Soedarwo. Surat perjanjian itu ditandatangai awal Juli 2008, PSSI beralamatkan di Pintu IX Stadion Utama Gelora Bung Karno dengan telp 021-57852860. 
Surat perjanjian yang tertulis dalam dua lembar surat itu, terdapat ketentuan umum yang menyebutkan bahwa pihak PSSI meminta Hotel Kaisar menyediakan fasilitas hotel dengan tanggal check in 7 Juli 2008 dan tanggal check out 20 Juli 2008. Selain itu, PSSI juga memesan Paket Fullboard Twin Share Rp 400 ribu dan Paket Fullboard Single Rp 570 ribu.  
"Terkait penggunaan kamar, jumlah peserta, tanggal kedatangan dan keberangkatan akan dilaporkan ke hotel dua hari sebelum acara dilaksanakan sebagai konfirmasi akhir kepada Hotel Kaisar," kata pengacara muda tersebut.  
Dalam surat tersebut, juga tertulis tentang perjanjian cara pembayaran. Cara pembayarannya yakni 50 persen pembayaran dibayar tanggal 5 Juli 2008, lalu 30 persen dibayar tanggal 11 Juli 2008 dan sisanya sebanyak 20 persen dibayar pada tanggal 18 Juli 2008. Urutan pembayaran ini juga berlaku untuk pembayaran ekstra bed dan snack. Pada surat perjanjian tersebut, pembayaran dapat dilakukan secara tunai atau melalui Bank Mandiri Cabang Mampang. 
Ironisnya, kata Deolipa, sebelum pembayaran pertama dilakukan sesuai yang tertulis dalam surat perjanjian, pihak PSSI langsung berbondong-bondong memasuki hotel dan langsung meminta kamar yang telah dipesan. Namun, karena hotel sifatnya melayani dan tidak ingin membuat konsumen tersinggung, akhirnya kedatangan mereka diterima dengan baik. Pihak hotelpun langsung menyiapkan kamar sesuai pesanan mereka 
 Padahak, sejak tim PSSI menginap di hotel, pihak hotel telah melakukan penagihan sesuai perjanjian yang telah dibuat kedua pihak. Namun penagihan itu tidak berjalan mulus, karena pihak selalu berkelit sambil mengulur-ulur waktu pembayaran. “Setelah didesak, akhirnya mereka mau melakukan pembayaran tetapi tidak penuh hanya sebesar Rp 110 juta, untuk pembayaran itupun harus melalui perdebatan dengan pihak PSSI,” kata Deolipa.
 Menurut Deolipa, sebenarnya kami ingin kasus ini diselesaikan secara baik-baik dengan cara pihak PSSI melunasi semua tagihan itu. Tapi karena mereka terus mengelak dari tanggung jawabnya, dengan terpaksa kasus ini kami laporkan ke Polres Jakarta Selatan dan Polda Metro Jaya. 
 Kasus penipuan dan penggelapan yang dilakukan PSSI ini juga sudah dilaporkan ke Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menegpora) Adhyaksa Dault dan Presiden SBY. “Kami berharap agar Menegpora dan Presiden memberi tekanan politis agar PSSI mau melunasi kewajibannya,” harap Deolipa.
 Deolipa mengaku tidak paham dengan sikap PSSI terutama Sekjennya yang selalu buang badan saat ditagih. Padahal tidak satupun pasal dalam perjanjian penyewaan kamar hotel yang menyebutkan kewajiban pembayaran dilakukan pihak lain selain PSSI. Itu sebab, Deolipa berharap pihak kepolisian bertindak secara profesional, walaupun katanya dibelakang para pengurus PSSI disebutkan banyak orang penting dan berpengaruh.
Keyakinan Deolipa itu memang dibuktikan pihak kepolisian dengan memanggil sejumlah saksi dari pihak PSSI dan sponsor, panitia pelaksana (panpel) pertandingan Turnamen AFF U-16 dan ketua panpel Pertamina Independence Cup 2008. Boleh jadi, kasus ini akan pula menyeret seorang petinggi Partai Demokrat, yang menjadi pemegang saham event organizer pelaksanaan pertandingan menyambut Kemerdekaan RI itu.(8) sofyan hadi, simon leo siahaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar