Selasa, 28 Juli 2009

Utang Batavia Air 1,19 Juta Dollar

PT Metro Batavia bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga. Betapa tidak, dalam kondisi perusahaan kembang kempis mengelola maskapai Batavia Air, kini harus menanggung utang 1,19 juta dollar AS.

Beban berat itu terungkap di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/4), ketika ketua majelis hakim Sugeng Riyono membacakan putusan perkara gugatan Garuda Maintenance Facilities (GMF) AeroAsia terhadap PT Metro Batavia. Sekalipun hanya nengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, namun majelis hakim menegaskan PT Metro Batavia harus membayar utang 1,19 juta dollar AS kepada GMF) AeroAsia. karena terbukti tidak memenuhi kewajiban membayar tagihan servis dan perbaikan pesawat.
Selain memerintahkan maskapai penerbangan itu membayar utang, majelis hakim juga menghukum Batavia Air membayar bunga 6% per tahun atas utang 1,19 juta dollar AS tersebut, serta membayar ganti rugi 500.000 pada GMF.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyebutkan Batavia Air terbukti ingkar janji dalam memenuhi kewajiban membayar biaya pekerjaan perbengkelan yang diperlukan untuk komponen dan mesin pesawat milik Batavia Air atau pesawat lain yang dioperasikan maskapai itu.
Salah satu kuasa hukum Batavia, Raden Catur Wibowo, enggan memberikan komentar atas putusan majelis hakim itu. Memang pihak Batavia Air membenarkan perjanjian itu, tetapi mereka membantah tudingan telah ingkar janji dan beriktikad tidak baik dalam memenuhi kewajibannya.
Maskapai penerbangan itu berdalih belum membayar kewajiban karena belum selesainya claim engine 857854 yang masih berada di engine shop GMF. Perjanjian antara GMF dan Batavia Air tertuang dalam perjanjian 1 hingga 29, di mana sesuai jangka waktu yang tertera dalam invoice Batavia Air belum membayar tagihan sekitar 1,19 juta dollar AS.

Pesawat disita

Perkara ini berawal ketika PT GMF AeroAsia menyita tujuh pesawat milik PT Metro Batavia (Batavia Air) karena tidak melunasi biaya perawatan pesawat yang telah jatuh tempo sejak awal 2008. Total nilai utang yang seharusnya dilunasi oleh Batavia Air sebesar 1,192 juta dollar AS. Adapun pesawat yang disita merupakan pesawat tipe B737-200 masing-masing dengan registrasi PK-YTG, PK-YTS, PK-YTC, PK-YTF, PK-YTI, PK-YTR, dan PK-YTV.

 Dalam menyelesaikan penagihan utang ini, GMF AeroAsia mengajukan gugatan perdata terhadap PT Metro Batavia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 25 September 2008. Bahkan, permohonan sita jaminan tujuh pesawat Batavia Air itu dikabulkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 4 Maret 2009.
 "Kami bersyukur Permohonan Sita Jaminan kami dikabulkan majelis hakim," kata Eniaswuri Andayani selaku General Manager Corporate Legal GMF di Cengkareng ketika mendampingi petugas Pengadilan Negeri Tangerang melakukan berita acara sita jaminan terhadap pesawat Batavia Air di Bandara Soekarno Hatta, Jumat (13/3) lalu.
 Dalam kasus gugatan perdata ini PT GMF AeroAsia menunjuk Adnan Buyung Nasution & Partners Law Firm sebagai kuasa hukum. Majelis hakim perkara gugatan ini telah mengeluarkan penetapan sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Maret 2009. "Jadi tujuh pesawat Batavia Air berstatus sita jaminan sampai Batavia melunasi kewajibannya," kata Eni.
 Dalam penetapan sita jaminan tersebut, Batavia Air masih diizinkan mengoperasikan tujuh pesawat yang disita demi kepentingan masyarakat. Beberapa penetapan sita jamin itu berbunyi: mengabulkan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) penggugat dengan beberapa batasan dan ketentuan. Salah satunya adalah pesawat terbang dalam sitaan tetap dapat dioperasikan demi kepentingan pelayanan transportasi umum selama dalam sitaan.
 Selama dalam sitaan tersebut hanya boleh dioperasikan terbatas dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Termohon yakni Batavia Air wajib merawat pesawat-pesawat dalam sitaan itu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan biaya yang dibebankan kepada termohon sita.

Gugatan ditolak

Selain memutuskan menerima permohonan sita yang diajukan GMF AeroAsia, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menolak seluruh gugatan yang diajukan PT Metro Batavia terhadap GMF AeroAsia dalam perkara kerusakan dua engine berkode ESN 857854 dan ESN 724662. Keputusan ini dibacakan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 11 Maret 2009.

 "GMF AeroAsia tidak terbukti melakukan wanprestasi," kata Eniaswuri Andayani. Menurut Eniaswuri, pada saat yang sama majelis hakim mengabulkan gugatan rekonpensi yang diajukan GMF terhadap Batavia Air atas sisa utang perawatan engine dengan total nilai 256.266 dollar AS berikut bunganya sebesar 6 persen per tahun.
 Menurut Eniaswuri, perkara ini bermula dari Batavia Air menyerahkan dua engine dengan kode ESN 857854 dan ESN 724662 kepada PT GMF AeroAsia pada 14 Juni 2007 untuk perawatan.
 "Prosedur perawatan kami selalu merujuk pada regulasi yang ada," kata Eniaswuri. Dari hasil inspeksi, berdasarkan AMM, GMF mengajukan workscope perawatan kepada Batavia Air. Batavia Air menyetujui penggantian bearing No 1-5 dan Berdasarkan persetujuan itu GMF dan Batavia Air membuat kesepakatan tertulis pergantian 5 bearing di engine Batavia. "Jadi GMF melakukan pekerjaan sesuai proposal tertulis yang disepakati /disetujui pihak Batavia Air," kata Eniaswuri.
 Proses pergantian 5 bearing pada dua engine itu selesai dan kedua engine diserahkan kembali pada Batavia Air pada September 2007 dan dua engine itu bisa diterbangkan. Beberapa waktu kemudian engine#1 mengalami masalah setelah diterbangkan selama kurang lebih 300 jam terbang. Sedangkan engine #2 tidak mengalami masalah. Dalam kontrak GMF dan Batavia Air ada klausul bahwa garansi diberikan oleh GMF jika kerusakan karena kesalahan workmanship.
 Tapi, masalah yang muncul pada engine #1 Batavia Air bukan pada bearing replacement yang dikerjakan oleh GMF. Untuk membantu Batavia Air mencari sumber kerusakan, GMF mencoba melakukan investigasi pada engine #1. Batavia Air melakukan gugatan terkait klaim engine tersebut kepada PT GMF AeroAsia sebesar 5 juta dollar AS melalui Pengadilan Negeri Tangerang. 
Kedua perusahaan sudah mencoba melakukan mediasi tertutup tapi tidak menemukan titik temu. Mediasi perkara oleh majelis hakim gagal menemukan kata sepakat. Namun Perkara di PN Tangerang ini kemudian dicabut oleh Pihak Batavia Air pada bulan Juli 2008. (8) simon leo siahaan


------------------------------------------ b o x ------------------------

Mantan Pilot Wanprestasi

Sedangkan
dalam persidangan terpisah, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan Batavia Air terhadap Capt. A.M. Jaka Pituana, karena mantan pilot itu dinyatakan terbukti melakukan wanprestasi atas perjanjian ikatan dinas.
 Sebelumnya, Batavia menggugat mantan pilotnya yang kini bekerja di Vietnam Airlines, Capt. A.M. Jaka Pituana, karena mengundurkan diri secara sepihak sebelum masa ikatan dinasnya berakhir.
 Berdasarkan perjanjian kerja sama, jika pilot mengundurkan diri sebelum masa ikatan dinasnya berakhir, yang bersangkutan berkewajiban untuk mengembalikan biaya pendidikan yang telah dikeluarkan maskapai penerbangan itu.
 Dalam putusan yang dibacakan ketua majelis hakim Wisnu Wardana, kemarin, tergugat dihukum mengembalikan 11.515 dollar AS yang dikeluarkan maskapai penerbangan itu untuk biaya pendidikan profesi Captaincy Boeing 737-200, 23.750 yang merupakan biaya program profesi penerbang tipe Rating Airbus 319, serta denda 20.000 dollar AS.
 Kuasa hukum Capt A.M Jaka Pituana, Rizal Fauzi Ritonga, menyebutkan pihaknya keberatan dengan putusan majelis hakim tersebut. "Kita pasti akan mengajukan upaya hukum banding," katanya, seusai sidang pembacaan putusan, kemarin.
 Salah satu kuasa hukum Batavia Air, Samuel Lumban Tobing, enggan memberikan komentar atas putusan itu. "No comment," katanya, seusai sidang pembacaan putusan. (8) simon leo siahaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar