Jumat, 31 Juli 2009

Menyoal Kasus Korupsi Lili Asdjudiredja

Januari 24, 2008 

Kasus dugaan korupsi
sebesar Rp7,5 miliar di tubuh PT Sebatin yang melibatkan Wakil Ketua Komisi VI DPR- RI, Lili Asdjudiredja, hingga kini tak jelas rimbanya. Bahkan berkas perkaranya terpendam dalam laci Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Pusat, hampir lima tahun.

Meski demikian Kajati DKI Jakarta, Harry Harmansyah yang ditemui Tabloid Sensor, Selasa (15/1), bersikap dingin.”Kalau bisa, tanya kasus-kasus baru sajalah, jangan yang sudah lama,” ucap Harry.

Kasus dugaan korupsi ini merupakan kasus yang dilimpahkan Kejaksaan Agung Ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Lebih dari tiga tahun tidak pernah dilakukan pemeriksaan saksi dan pemeriksaan tersangka. Mirisnya lagi, Lili yang pernah menjabat sebagai anggota Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) bebas berkeliaran tanpa dilakukan penahanan. Kendati dirinya hingga kini, masih dikenakan status cegah tangkal (cekal, red).

Dalam kasus ini Bong Kon Ho alias William Bong Direktur Utama PT Sebatin, dihukum selama satu tahun penjara, karena turut serta melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut, Bong juga diharuskan membayar ganti rugi Rp7,5 miliar. Sebelumnya jaksa penuntut umum (JPU), menuntut delapan tahun penjara karena dinilai telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.

Dalam tuntutannya, JPU menyatakan, Bong melakukan korupsi bersama Lili Asdjudiredja, kala itu sebagai anggota Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Ia menjabat sebagai Komisaris Utama dan Yau Kam Muk, Direktur PT. Sebatin. William Bong dikabarkan sudah meninggal dunia.

Lili saat itu diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Negeri Jakpus, pada 28 Maret 2003. Pemeriksaannya anggota Partai Golkar itu, dalam kapasitas sebagai Komisaris Utama PT Sebatin. Ia ditengarai menerima kucuran dana Rp7,5 miliar dari Bank Bumi Daya Cabang Jakarta Cikini, Jakarta Pusat (Sekarang Bank Mandiri Cabang Jakarta TIM) dengan fasilitas Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Dana itu dipergunakan untuk membiayai perkebunan tanaman karet dan kakao di Kecamatan Tanjung Aru , Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur.

Salman Maryadi saat dihubungi Tabloid Sensor, Kamis (17/1) siang, mengatakan tidak dilimpahkannya perkara Lili Asdjudiredja ke pengadilan. Lantaran ada kesalahan dari saksi.Namun ia tidak menjelaskan saksi yang dimaksud. “Kemungkinan masalah saksinya, jadi belum bisa dilimpahkan ke pengadilan,” dalihnya. Salman saat ini menjabat sebagai Direktur Penuntutan pada Kejaksaan Agung. Untuk diketahui, Salman Maryadi adalah mantan Kajari Jakarta Pusat. Kala itu Salman menangani kasus Lili Asdjudiredja

Pemberatasan Korupsi

Sementara itu praktisi hukum Berlin Pandingan, mengutarakan pemberatasan korupsi di negeri ini terbukti tebang pilih. Sebab banyak anggota DPR-RI yang terindikasi korupsi tidak satu pun tersentuh hukum.”Di sini tidak ada keadilan, hukum hanya berlaku untuk orang yang lemah,” tegas Berlin. Ia juga menyarakan kepada Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) untuk segera mengambil alih kasus Lili Asdjudiredja yang mandeg di laci Kajari Jakpus.”Saya mencurigai ada kepentingan politik dibalik perkara ini, Sebab Lili adalah anggota Partai Golkar yang notabene ‘orang kuat’,” katanya.

Dirinya pun mempertanyakan alasan Salman Maryadi yang mengatakan tidak dilimpahkannya berkas perkara Lili, disebabkan kesalahan saksi. Menurutnya penyidik tidak bisa menyalahkan saksi. Seharusnya jaksa wajib membuktikan kesalahan tersangka.”Penyidik tidak bisa menyalahkan saksi begitu saja, jaksa wajib membuktikan kesalahan tersangka di pengadilan,” imbuhnya. Ia pun mempertanyakan kredibilitas jaksa yang menangani perkara Lili.

Sementara itu Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Donny Kadnezar Irdan saat dikonfirmasi Tabloid Sensor, Jumat (18/1) menyampaikan melalui stafnya bernama Tatang. ”Soal kasus Lili Asdjudiredja tanya saja kepada Kepala seksi tindak pidana khusus,” katanya.

Saat tabloid ini menyambangi ruangan Kasipidsus IDG Wirajana, ia tidak berada di tempat. Menurut staf Pidsus yang enggan ditulis identitasnya mengaku IDG Wirajana sedang keluar kantor, tanpa menyebutkan lebih rinci. Sumber yang layak dipercaya menyebutkan tentang kasus Lili Asdjudiredja oleh pihak Kejari Jakarta Pusat telah mengirimkan surat kepada Kejaksaan Agung. Namun lanjutnya, hingga kini surat tersebut belum juga mendapat tanggapan dari kejagung.

Setali tiga uang, Salman Maryadi pun demikian. Ia mengaku tidak tahu ihwal surat tersebut.”Saya tidak tahu soal surat itu,” elaknya.

Ditambahkan Salman saat penyidikan perkara Lili Asudirdja berlangsung. Ia menjabat sebagai Kajari Jakpus.”Saat penyidikan Lili saya sebagai Kajari Jakarta Pusat, tapi saat ini saya tidak bisa mengintervensi kasus itu lagi,” kata Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus di ruang kerjanya, Jumat (18/1).

Hal yang sama juga diungkapkan Jaksa Agung Muda pada Pengawasan, MS.Rahadjo usai shalat Jumat di Kejagung. Ia enggan menanggapi polemik yang melibatkan komisaris utama PT Sebatin sekaligus tersangka Lili Asdjudiredja.

Rahadjo menilai berkas perkara anggota Partai Golkar yang telah selesai diBAPkan.Dan tidak segera dilimpahkan ke pengadilan adalah masalah teknis.”Berkas tidak dilimpahkan adalah masalah teknis,” ujarnya sambil ngeloyor pergi.

Seperti diketahui Kasus bermula pada 1990, ketika William Bong, Komisaris PT. Sebatin mengajukan permohonan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) Perkebunan Besar Swasta Nasional III kepada Bank Bumi Daya (BBD) cabang Cikini, Jakarta -saat ini Bank Mandiri Cabang TIM Jakarta. Pinjaman Rp32 miliar disetujui untuk membiayai pembangunan perkebunan karet dan kakao di Kalimantan Timur yang diberikan secara bertahap.

Selaku Komisaris 

PT Sebatin kemudian menerima pencairan dana sebesar Rp2,9 miliar pada periode 1990-1992. Karena debitur dianggap tidak mempunyai kemampuan self financing, bank akhirnya menghentikan kucuran dana selama 1992-1997. Kreditur mengharuskan PT Sebatin mencari investor baru agar kredit bisa dicairkan kembali. Untuk memenuhi tuntutan itu, Bong menggelar rapat umum pemegang saham (RUPS) dan disetujui untuk meningkatkan modal disetor dari Rp 1 miliar menjadi Rp10 miliar, sekaligus mengangkat Lili Asdjudiredja selaku Komisaris Utama PT. Sebatin. Bong sendiri diangkat menjadi Direktur Utama. Kedua orang itulah yang kemudian pada 30 Oktober 1997 mengajukan surat kepada Bank Mandiri cabang TIM Jakarta untuk mencairkan sisa KLBI yang akhirnya juga ditolak.

Tidak puas dengan usaha itu, PT. Sebatin kembali mengelar RUPS yang dihadiri William Bong, Lili Asdjudiredja, Yau Kam Muk, Sudjono Muldjoatmojo, Raden Prihandono Iman Santoso dan Djaimar Sirait. Rapat pada 12 Februari 1998, itu menyepakati realisasi penyetoran modal disetor. Hasil rapat menyatakan Bong memiliki 1700 lembar saham dengan nilai Rp1,7 miliar dan Lili sebanyak 900 lembar saham dengan nilai Rp900 juta.

Komposisi saham baru ini tertuang dalam akta nomor 8 tertanggal 12 Februari 1998 yang dibuat notaris Endang S. Antariksa. Para pemegang saham baru ini kembali mengajukan pencairan sisa kredit, karena menganggap telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Mereka memohon agar Bank Mandiri cabang TIM Jakarta bisa mengalirkan sisa kredit investasi sebesar Rp8,4 miliar.

Tapi, permohonan urung dikabulkan dan pejabat bank justru minta modal setor dinaikkan menjadi Rp27, 8 miliar dalam bentuk deposito atas rekening PT. Sebatin.

Bong menyanggupi hal itu, bersama Lili dirinya menyertakan akte notaris fiktif nomor 8 tertanggal 12 Februari 1998 dan menyerahkan surat sanggup bayar (promes) Rp32,3 miliar.Berdasarkan data-data itu, Bank Mandiri kemudian mengabulkan permohonan pencairan sisa kredit itu. Bank Mandiri menggelontorkan dana Rp7,5 miliar secara bertahap ke rekening PT. Sebatin. Belakangan, sesuai pengakuan William, uang itu digunakan untuk membayar utang kepada Yau Kam Muk, PT. Unindo Karya Prima dan lainnya.

Akibat perbuatannya ini, Bong didakwa merugikan negara cq Bank Mandiri sejumlah Rp7,5 miliar. Bong membantah, uang digunakan untuk kepentingan pribadi. Pinjaman itu, kata Bong, digunakan untuk membayarkan uang yang telah digunakan oleh perusahaan, untuk mengamankan proyek perkebunan yang sedang dilakukan. Karena jika tidak dibayarkan, akan mengalami kegagalan. “Ini misunderstanding,” kata Bong ketika itu, seraya mengaku tidak melakukan korupsi.  (8) sofyan hadi, simon leo siahaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar